Minggu, 28 Februari 2010

KONSEP RELASI AGAMA DAN NEGARA DALAM ISLAM

Antara relasi hubungan Agama dan Negara mengalami berbagai pedebatan yang cukup panjang dikalangan ulama Islam hingga kini. Berkenaan dengan hal tersebut maka pendapat para pakar berkenaan dengan relasi agama dan negara dalam Islam dapat dibagi atas tiga pendapat yakni paradigma integralistik, paradigma simbiotik, dan paradigma sekularistik[1]. Berikut akan dijelaskan secara rinci :

a. Paradigma Integalistik

Paham ini merupakan pendapat atau konsep yang menggap negara dan agama adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Paham ini dianut oleh beberapa ulama-ulama Islam diantaranya yang paling ekstrim adalah golongan syiah dengan teori Imamah mereka. Dan juga ulama-ulama terkemuka lainya yakni, Al-Mawardi, Imam Al-Ghazali, Ibnu Khaldun, serta dikalangan ulama kontemporor seperti Rayid Ridho, kelompok-kelompok Ikhwanul Muslimin seperti Hasan Al-Bana, Syaid Qutub, dan lain sebagainya.

Mawardi berpendapat bahwa Allah mengangkat untuk umatnya seorang pemimpin sebagai pengganti (khalifah) nabi, untuk mengamankan agama, dengan disertai mandat politik. Dengan demikian imam di satu pihak adalah pemimpin agama dan di lain pihak adalah pemimpin politik[2]. Pemikiran ini tidak beranjak dari ilustrasinya tentang kepemimpinan pada masa Rasullulah dan Khalifah Ar-Rasyidin.

Begitu juga yang ditegaskan Al –Ghazali bahwa:

agama dan raja ibarat dua anak kembar; agama adalah suatu fondasi sedangkan sultan adalah penjaganya; sesuatu yang tanpa fondasi akan mudah runtuh, dan fondasi tanpa penjaga akan hilang. Keberadaan sultan merupakan keharusan bagi tertib agama, dan ketertiban agama merupakan keharusan bagi tercapainya kesejahteraan akhirat nanti[3].

Bagitu juga Ibnu Khaldun yang dengan memberikan uruaian tentang makna khalifah bahwa khalifah adalah tanggung jawab umum yang dikehendaki oleh peraturan syariat untuk mewujudkan kemaslahatan dunia dan akhirat bagi umat dengan merujuk kepadanya. Karena kemaslahatan akhirat adalah tujuan akhir, maka kemaslahatan dunia seluruhnya harus berpegang kepada syariat. Hakikatnya, sebagai pengganti fungsi pembuat syariat (Rasullulah, SAW) dalam memeliharaan urusan agama dan mengatur politik keduniaan[4].

Dan Rasyid Ridha walawpun dia merupakan murid dari Muhammad Abduh yang berpemikiran simbiotik namun Ridha memiliki ide yang berbeda dengan sang gurunya, menurut Ridha eksistensi syariat sangat penting dalam rangka penetapan hukum syariat Islam. Bahwa Islam adalah agama kedaulatan, politik dan pemerintahan, maka bentuk pemeintahan yang lain (selain kekhalifahan) baginya tidak dapat menerpakan syariat Islam[5].

Selanjutnya Al- Ikhwan Al-Muslimin yang dirikan Hasan Al-Bana di Kairo Mesir tahun 1928, yang mana perhatiannya pada mulanya hanya pada kegiatan-kegiatan reformasi moral dan sosial, namun dalam perkembangan berikutnya menjadi suatu organisasi keagamaan dan politik, hal ini terlihat jelas saat mereka mendabakan berdirinya negara Islam di Mesir[6]. Adapun pendapat tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin yang paling sentral adalah:

Islam adalah suatu agama yang sempurna dan amat lengkap, yang meliputi tidak saja tuntuan moral dan peribadatan, tetapi juga petunjuk-petunjuk mengenai cara mengatur segala aspek kehidupan, termasuk kehidupan politik, ekonomi sosial; oleh karenanya untuk pemulihan kejayaan dan kemakmuran, umat Islam harus kembali kepada agamanya yang sempurna dan lengkap itu, kembali kepada kitab sucinya, Al-Qur’an dan Sunah Nabi, mencontoh pola hidup rasul dan umat Islam generasi pertama, tidak perlu atau bahkan jarang meniru pola atau sistem politik, ekonomi dan sosial barat[7].

b. Paradigma Simbiotik

Paham ini memahami bahwa agama dan negara adalah saling membutuhkan artinya memiliki hubungan timbal balik, perbedaanya dengan aliran integralistik adalah bahwa agama dan negara suatu etensitas yang berbeda, namun saling membutuhkan, bukanya menyatu seperti yang dimaksud pada paham integralistik. Pemikiran ini di anut kalangan-kalangan ulama Islam yakni Ibnu Taimiyah, Muhammad Abduh, Jamaludin Al-Afghani, Yusuf Al-Qardawi dan lain-lain.

Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa adanya kekuasaan yang mengatur kehidupan manusia merupakan kewajiban agama yang paling besar, karena tanpa kekuasaan negara, maka agama tidak bisa tegak. Pendapat beliau meligitimasikan agama dan negara merupakan dua etensitas yang berbeda, tetapi saling mebutuhkan. Oleh karenannya, konstusi yang berlaku dalam paradigma ini tidak hanya bersal dari adanya social contect, tetapi bisa saja diwarnai dengan hukum agama[8].

Jamaludin Al-Afghani dalam membahas ketatanegaraan lebih menghendaki pemerintahan republik dimana pemikiran beliau lebih dipengaruhi pemikiran barat, namun hal ini menurut beliau cukup ideal diterapkan pada pemerintahan, sebab di dalamnya terdapat kekebasan berpendapat dan kepala negara harus tunduk kepada undang-undang dasar, tetapi tidak lepas dari pemahaman beliau terhadap prisnsip-prinsip ajaran Islam[9]. Selanjutnya pemikiran beliau dilanjutkan oleh murid beliau yakni Muhammad Abduh. Abduh tidak menetapkan suatu bentuk pemerintahan. Jika sistem khalifah masih tetap menjadi pilihan sebagai model pemerintahan, maka bentuk demikianpun harus sesuai perkembanga masyarakat dalam kehidupan materi dan kebebasan berpikir, menurutnya lebih jelas lagi bahwa Islam tidak menentukan bentuk pemeritahan. Pemerintah dan rakyat mempunyai hak dan kewajiban yang sama memelihara dasar-dasar agama, dan menafsirkan selama ia berkaitan dengan masalah keduniaan. Produk dari pemahaman ini tidak bertentangan dengan salah satu pokok agama. Dalam kepala meraka adalah bentuk pemerintahan. Artinya merekalah menentukan bagaimana bentuk pemerintahan yang mereka kehendaki[10]. Namun demikian tidak berari Muhammad Abduh memisahkan antara urusan agama dan negara secara mutlak, namun menurutnya Islam menetapkan hak-hak dan kewajiban kepada rakyat dan pemerintah, dan pemeritah wajib menegakan keadilan yang dituntut oleh agama dan rakyat[11].

Demikian juga pendapat yang dikemukakan ulama kontemporer Yusuf Al-Qardawi bahwa:

Ada yang mengatakan, karen demokrasi itu merupakan hukum bagi rakyat oleh rakyat, yang berarti harus menolak pendapat yang mengatakan kedaulatan pembuat hukum hanya miliki Allah, hal ini merupakan pendapat yang tidak bisa diterima. Prinsip hukum miliki rakyat, yang merupakan asas demokrasi, tidak bertentangan dengan prinsip hukum milik Allah yang merupakan asas penetapan hukum dalam Islam[12].

c. Paradigma Sekularistik

Paradigma ini beranggapan bahwa ada pemisahan antara agama dan negara, agama dan negara merupakan dua bentuk yang berbeda dan satu sama lain memiliki garapan bidang masing-masing, sehingga keberadaanya harus dipisahkan. Hal ini dianut beberapa ulama kontemporer yakni Ali Abdul Raziq, Muhammad Husain Haikal dan lain-lain.

Menurut Raziq, pemerintahan Rasul bukanlah bagian dari tugas kerasulannya, melainkan tugas terpisah dari dakwah Islamnya dan berada di luar tugas kerasulan. Alasanya, bahwa Nabi Muhammad, SAW memang telah mendirikan negara di Madinah, akan tetapi sulit membuat kesimpulan bagaimana prosedur penetapan hukum yang ditempuh oleh Rasul, demikian pula tidak ada informasi yang cukup mengenai fungsi-fungsi pemerintahan lain, minsalnya masalah keungan dan wawasan, dan keamanan jiwa dan harta. Namun demikian, bagian-bagian tugas yang dilakukan oleh Nabi seperti ekspedisi militer untuk membeladiri, distribusi zakat, jizyah dan ghanimah, pendeleglasian tugasnya kepada para sahabat untuk melaksanakanya. Jadi kegiatan kenegaraan merupakan keadaan nabi yang terpisah dari jabatan beliau sebagai Rasul, melainkan merupakan tugas beliau sebagai pemimpin dalam dunia muamalah manusia biasa[13].

Pendapat tesebut sealiran dangan pendapat Muhammad Husain Haikal dimana ia menyampaikan bahwa :

Sesungguhnya Islam tidak menetapkan sistem tertentu bagi pemerintah, dan akan tetapi ia melatakan kaidah-kaidah bagi tingkah laku dan muamalah dalam kehidupan antar manusia. Kaidah-kaidah itu menjadi dasar untuk menentukan sistem pemerintahan yang berkembang sepanjang sejarah[14].



[1] Azyumardi Azra, Op Cit., h. 62.

[2] H. Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara : ajaran, sejarah dan pemikiran, (Jakarta: UI-Press, 1990), Cet. Ke- II., h. 63.

[3] Ibid., h. 76.

[4] J. Suyuti Pulungan, Fiqh Siyasah, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), cet. Ke- V., h. 44.

[5] Ibid., h. 283.

[6] H. Munawir, Sjadzali, Op Cit., h. h. 147-148

[7] Ibid.,h. 148.

[8] Azyumardi Azra, Op Cit.,h. 63.

[9] J. Suyuti Pulungan, Op Cit., h. h. 281-282.

[10] Ibid

[11] Ibid., h. h. 289-290.

[12] Yusuf Al-Qardawi, Fiqih Daulah dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sunnah, (Jakarta Tmur: Pustaka Al-Kautsar, 1999), cet. Ke-IV., h.195.

[13] J. Suyuti Pulungan, Op Cit., h. h. 304-306

[14] Ibid., h. 296

Tidak ada komentar:

Posting Komentar